Sekedar bacaan tambahan untuk wawasan.
American Board of Forensic Anthropology mendefinisikan
antropologi forensik sbb:
Antropologi forensik adalah penerapan
ilmu antropologi fisik dalam proses hukum. Identifikasi rangka, yang sudah sangat
mengalami pembusukan, ataupun sisa manusia yang tidak teridentifikasi sangat
penting baik secara hukum maupun kemanusiaan. Ahli antropologi forensik
menerapkan standar teknik-teknik ilmiah yang dikembangkan dalam antropologi
fisik untuk mengidentifikasi sisa-sisa manusia, serta untuk membantu
menyelidiki kejahatan. Para ahli antropologi forensik sering bekerja sama
dengan ahli patologi forensik, ahli odontologi, dan penyelidik pembunuhan untuk
mengidentifikasi mayat, menemukan bukti kejahatan, dan/atau jarak postmortem. Selain
membantu melacak dan menemukan sisa-sisa yang mencurigakan, ahli antropologi
forensik berusaha memperkirakan umur, jenis kelamin, asal-usul keturunan,
sosok, dan ciri-ciri khusus mayat berdasarkan rangkanya.
Akar antropologi forensik tertanam kuat pada riset akademik antropologi
fisik (antropologi biologi) abad keduapuluh, khususnya bioarkeologi. Usaha mendapatkan
informasi maksimum dari sisa rangka masyarakat masa lalu mendorong keluarnya
osteologi dari batas-batas kajian yang biasanya dinisbahkan kepada para dokter
dan ahli anatomi. Pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang menjadi titik
perhatian para ahli antropologi fisik untuk mendapatkan informasi biologis dan
kultural dari rangka dalam konteks arkeologis terbukti dapat diterapkan
langsung pada konteks mediko-legal. Tentu saja ini bukan berarti riset untuk arus
aplikasi ini merupakan arus searah. Pertumbuhan riset dan praktik di ranah
forensik telah menciptakan arus balik informasi pada kerja keras di bidang
bioarkeologi dan paleontologi.
Menyingkap informasi dari tulang untuk
mengidentifikasi individu menjadi puncak sebagian besar kerja awal yang
dilakukan oleh ahli antropologi, yang kebanyakan dimintai tolong secara
sporadik dan ad hoc. Lama-lama para ahli antropologi diminta untuk membantu
menginterpretasikan bukti rangka yang dipusatkan pada bagaimana kematian
terjadi dan apa penyebabnya. “Singkatnya, penyebab kematian adalah luka atau
penyakit yang mengakibatkan kerusakan pada badan sehingga seorang individu
mengalami kematian.” (DiMaio & DiMaio, 1993, h. 3). Dengan demikian,
penyebab kematian bisa sangat beragam, mulai lukai tembak, melanoma, ataupun keracunan.
Jika penentuan sebab-sebab kematian terutama menjadi tanggung jawab ahli
patologi, pemeriksa kematian, dan petugas koroner, maka sisa berupa rangka menjadi tanggung jawab ahli
antropologi forensik. Namun karena sisa rangka yang diperiksa oleh ahli
antropologi tidak lagi memiliki jaringan lunak, maka mereka harus sangat
berhati-hati dalam membuat kesimpulan. Misalnya, ada keterkaitan mutlak antara
retak memanjang pada tengkorak (linear skull fractures) dengan derajat
kerusakan otak, dan sebab kematian bisa berhubungan langsung ataupun tidak
dengan retaknya tengkorak. The manner of death (cara/bagaimana
individu mati) adalah keadaan yang mengakibatkan terjadinya kematian. Jika penyebab
kematian memiliki banyak kemungkinan, maka the manner
of death (cara mati) hanya memiliki lima kategori: sebab-sebab alamiah,
kecelakaan, bunuh diri, dibunuh, dan tidak dapat dipastikan. Misalnya luka
tembak di kepala sebagai penyebab kematian bisa saja terjadi karena kecelakaan,
pembunuhan, bunuh diri, atau hal-hal lain yang tidak dapat dipastikan. Keadaan kematian
(circumstances of death) adalah bagian dari
investigasi medikal-legal yang sering dapat dipertanggungjawabkan dalam
penyelidikan antropologis, dari menetapkan the manner of
death hingga mengevaluasi bisa dipercaya tidaknya pernyataan orang yang
dicurigai dalam peristiwa tersebut.
Mekanisme kematian (mechanism of death)
adalah proses fisiologis dan kimiawi, diawali dengan penyebab kematian, yang
mengarah pada kegagalan organ-organ vital atau sistem organ. Proses ini
menggambarkan bagaimana peluru yang menembus kepala atau dada dapat mengakibatkan
kematian. Kajian ini bukan wilayah kajian utama ahli antropologi dan biasanya
diserahkan kepada pihak medis.
Yang menjadi perhatian ahli antropologi adalah
mempertahankan mata rantai bukti atau mata rantai pengamanan (custody). Ahli antropologi
harus menjamin keamanan setiap sisa rangka atau bukti lain yang ada dalam
penjagaannya. Ahli antropologi harus menjamin bahwa bukti tersebut tidak
bercampur aduk (bukti-bukti tersebut harus didokumentasikan – penerj.). Kadang-kadang
setiap petugas pengamanan menandatangai dan memberi tanggal secara berseri pada
rangkaian bukti yang diperoleh. Ahli antropologi harus mencatat tanggal, waktu,
dan kejadian-kejadian berkaitan dengan masuk dan keluarnya bukti-bukti yang ada
serta di mana penyimpanan sementara bukti-bukti tersebut.
Bencana massal dan penggalian kuburan massal memberikan
tantangan dan hambatan tersendiri yang berbeda dengan penyelidikan kematian
yang lebih tipikal dalam hal struktur lembaga dan komando, peraturan-peraturan
aneh, dan urusan dengan birokrasi. Setiap instansi memiliki kekhususan
tersendiri.
Akhirnya, antropologi forensik sangat mirip dengan praktik
klinis, terutama dalam hal pengambilan keputusan, seperti dikemukakan oleh
Dawes dkk (1989) dalam Clinical versus Actuarial Judgement.
Diterjemahkan dan disarikan oleh Julimar dari Klepinger, Linda L., 2006 Fundamentalsto Forensic Anthropology, A John Wiley & Sons., Inc., New Jersey, h. 3-5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar