Beranda

Rabu, 25 Juli 2012

Antropologi Forensik (3)


Sekedar bacaan tambahan untuk wawasan.

American Board of Forensic Anthropology mendefinisikan antropologi forensik sbb:
Antropologi forensik adalah penerapan ilmu antropologi fisik dalam proses hukum. Identifikasi rangka, yang sudah sangat mengalami pembusukan, ataupun sisa manusia yang tidak teridentifikasi sangat penting baik secara hukum maupun kemanusiaan. Ahli antropologi forensik menerapkan standar teknik-teknik ilmiah yang dikembangkan dalam antropologi fisik untuk mengidentifikasi sisa-sisa manusia, serta untuk membantu menyelidiki kejahatan. Para ahli antropologi forensik sering bekerja sama dengan ahli patologi forensik, ahli odontologi, dan penyelidik pembunuhan untuk mengidentifikasi mayat, menemukan bukti kejahatan, dan/atau jarak postmortem. Selain membantu melacak dan menemukan sisa-sisa yang mencurigakan, ahli antropologi forensik berusaha memperkirakan umur, jenis kelamin, asal-usul keturunan, sosok, dan ciri-ciri khusus mayat berdasarkan rangkanya.

Akar antropologi forensik tertanam kuat pada riset akademik antropologi fisik (antropologi biologi) abad keduapuluh, khususnya bioarkeologi. Usaha mendapatkan informasi maksimum dari sisa rangka masyarakat masa lalu mendorong keluarnya osteologi dari batas-batas kajian yang biasanya dinisbahkan kepada para dokter dan ahli anatomi. Pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang menjadi titik perhatian para ahli antropologi fisik untuk mendapatkan informasi biologis dan kultural dari rangka dalam konteks arkeologis terbukti dapat diterapkan langsung pada konteks mediko-legal. Tentu saja ini bukan berarti riset untuk arus aplikasi ini merupakan arus searah. Pertumbuhan riset dan praktik di ranah forensik telah menciptakan arus balik informasi pada kerja keras di bidang bioarkeologi dan paleontologi. 

Menyingkap informasi dari tulang untuk mengidentifikasi individu menjadi puncak sebagian besar kerja awal yang dilakukan oleh ahli antropologi, yang kebanyakan dimintai tolong secara sporadik dan ad hoc. Lama-lama para ahli antropologi diminta untuk membantu menginterpretasikan bukti rangka yang dipusatkan pada bagaimana kematian terjadi dan apa penyebabnya. “Singkatnya, penyebab kematian adalah luka atau penyakit yang mengakibatkan kerusakan pada badan sehingga seorang individu mengalami kematian.” (DiMaio & DiMaio, 1993, h. 3). Dengan demikian, penyebab kematian bisa sangat beragam, mulai lukai tembak, melanoma, ataupun keracunan. Jika penentuan sebab-sebab kematian terutama menjadi tanggung jawab ahli patologi, pemeriksa kematian, dan petugas koroner, maka  sisa berupa rangka menjadi tanggung jawab ahli antropologi forensik. Namun karena sisa rangka yang diperiksa oleh ahli antropologi tidak lagi memiliki jaringan lunak, maka mereka harus sangat berhati-hati dalam membuat kesimpulan. Misalnya, ada keterkaitan mutlak antara retak memanjang pada tengkorak (linear skull fractures) dengan derajat kerusakan otak, dan sebab kematian bisa berhubungan langsung ataupun tidak dengan retaknya tengkorak. The manner of death (cara/bagaimana individu mati) adalah keadaan yang mengakibatkan terjadinya kematian. Jika penyebab kematian memiliki banyak kemungkinan, maka the manner of death (cara mati) hanya memiliki lima kategori: sebab-sebab alamiah, kecelakaan, bunuh diri, dibunuh, dan tidak dapat dipastikan. Misalnya luka tembak di kepala sebagai penyebab kematian bisa saja terjadi karena kecelakaan, pembunuhan, bunuh diri, atau hal-hal lain yang tidak dapat dipastikan. Keadaan kematian (circumstances of death) adalah bagian dari investigasi medikal-legal yang sering dapat dipertanggungjawabkan dalam penyelidikan antropologis, dari menetapkan the manner of death hingga mengevaluasi bisa dipercaya tidaknya pernyataan orang yang dicurigai dalam peristiwa tersebut. 

Mekanisme kematian (mechanism of death) adalah proses fisiologis dan kimiawi, diawali dengan penyebab kematian, yang mengarah pada kegagalan organ-organ vital atau sistem organ. Proses ini menggambarkan bagaimana peluru yang menembus kepala atau dada dapat mengakibatkan kematian. Kajian ini bukan wilayah kajian utama ahli antropologi dan biasanya diserahkan kepada pihak medis.

Yang menjadi perhatian ahli antropologi adalah mempertahankan mata rantai bukti atau mata rantai pengamanan (custody). Ahli antropologi harus menjamin keamanan setiap sisa rangka atau bukti lain yang ada dalam penjagaannya. Ahli antropologi harus menjamin bahwa bukti tersebut tidak bercampur aduk (bukti-bukti tersebut harus didokumentasikan – penerj.). Kadang-kadang setiap petugas pengamanan menandatangai dan memberi tanggal secara berseri pada rangkaian bukti yang diperoleh. Ahli antropologi harus mencatat tanggal, waktu, dan kejadian-kejadian berkaitan dengan masuk dan keluarnya bukti-bukti yang ada serta di mana penyimpanan sementara bukti-bukti tersebut.

Bencana massal dan penggalian kuburan massal memberikan tantangan dan hambatan tersendiri yang berbeda dengan penyelidikan kematian yang lebih tipikal dalam hal struktur lembaga dan komando, peraturan-peraturan aneh, dan urusan dengan birokrasi. Setiap instansi memiliki kekhususan tersendiri.

Akhirnya, antropologi forensik sangat mirip dengan praktik klinis, terutama dalam hal pengambilan keputusan, seperti dikemukakan oleh Dawes dkk (1989) dalam Clinical versus Actuarial Judgement.

Diterjemahkan dan disarikan oleh Julimar dari Klepinger, Linda L., 2006 Fundamentalsto Forensic Anthropology, A John Wiley & Sons., Inc., New Jersey, h. 3-5.

Senin, 11 Juni 2012

Phillip V. Tobias meninggal dunia

Ahli paleoantropologi terkemuka Phillip V. Tobias meninggal dunia pada tanggal 7 Juni 2012 yang lalu. Beliau meninggalkan warisan berharga bagi dunia ilmu pengetahuan, khususnya paleoantropologi dan anatomi. Ucapannya berikut ini menampakkan dedikasinya pada ilmu pengetahuan:

"I have taught over 10 000 students, and all of those are, in some small way, like my children. So it is not a genetic legacy that I leave, but rather a cultural one, orally transmitted through education, the value of which cannot be overemphasized. I like to believe that I have given something valuable to every one of them, and I can tell you quite honestly that almost every one of them has given something very valuable to me, and I remember them as my own family."

Esai singkat tentang Prof. Tobias dapat dilihat di sini.

Selasa, 22 Mei 2012

Aplikasi antropometri lainnya

Data antropometri diperlukan pula untuk hal-hal berikut ini:
1. Indentifikasi seks pada sisa hayat yang hanya berupa tulang. Contohnya pada caput humeri dan fossa glenoidea serta ukuran-ukuran kepala (Indriati, 2004 dalam Indriati, 2009).
2. Mengetahui status gizi dan pertumbuhan: biasanya untuk bayi baru lahir (neonatal) dan anak-anak. Ukuran yang penting adalah lingkar kepala, lingkar lengan atas, berat badan, dan tinggi badan (ukuran-ukuran ini berkaitan dengan pertumbuhan besar otak, maturitas tulang, dan status gizi). Kecukupan gizi dilihat dari tebal lipatan kulit. Anak berumur 1-5 tahun tebal lipatan kulit punggung atas (subskapula) rata-rata 6-9 mm. Jika kondisi gizi buruk atau kelaparan parah angkanya bisa lebih kecil sehingga tulang rusuk terlihat menonjol. Lingkar lengan atas-tengah (mid-upper arm circumference/MUAC) merupakan indikator akurat malnutrisi; bila skor kurang dari 10,5 cm dapat beresiko kematian pada anak di bawah umur 5 tahun (Tomkins, 1994 dalam Indriati, 2009)).
3. Mengetahui maturitas skeletal dan dental pada badan: hal ini biasanya diterapkan pada remaja untuk mengetahui apakah ada gangguan pertumbuhan pada rangka dan gigi seiring dengan pertumbuhan lima aspek lainnya (kognitif, spiritual, hubungan dengan keluarga, hubungan sosial, dan emosional). Adanya gangguan karena trauma/luka pada salah satu aspek pertumbuhan dapat mengganggu pertumbuhan fisik dan aspek-aspek lainnya.
4. Menilai obesitas pada orang dewasa (antropometri dewasa) yang diukur dengan rasio lingkar pinggang dan pinggul, tebal lipatan kulit (lemak) sentral dan ekstremitas, serta rasio tinggi dan berat badan dalam indeks massa badan (Indriati, 2009).
5. Menilai perubahan yang normal terjadi dalam proses menua (antropometri lanjut usia), meliputi berkurangnya tinggi badan, tinggi duduk, dan panjang rentang lengan (Indriati, 2009).

Antropometri olah raga
Peran antropometri dalam olah raga beragam, mulai dari penentuan cabang olah raga yang dapat memaksimalkan prestasi atlet, penilaian volume oksigen maksimal (mm/kg/menit) dalam status kebugaran seseorang, hingga penilaian komposisi lemak tulang, kadar air dan massa otot. Selain kebugaran fisik, aspek biokimiawi darah juga menjadi bagian integratif antropometri.

Antropometri militer
Dunia militer sudah lama dikenal menerapkan prinsip-prinsip antropometri yang ketat dalam penerimaan personelnya. Hal ini disebabkan karena anggota militer menjalankan tugas dan fungsi yang berbeda dengan masyarakat sipil. Oleh karena itu kekuatan dan kebugaran fisik sangat penting bagi mereka.

Ukuran-ukuran yang lazim sebagai indikator kebugaran untuk membawa beban, baris-berbaris, bahkan beradu fisik adalah berat badan, tinggi badan, indeks massa badan, lingkar dada, dan tinggi pubis (Davenport & Love dalam Indriati, 2009). Antropometri militer penting karena gerakan-gerakan dalam militer sangat spesifik dan perlu pakaian seragam khusus pula. Selain itu antropometri militer penting untuk menyeleksi anggota militer agar alat-alat standar militer dapat digunakan oleh yang bersangkutan, dan penilaian persentase lemak badan penting untuk mendapatkan personel dengan kebugaran fisik yang baik (Indriati, 2009). Ukuran-ukuran penting lainnya adalah tinggi duduk, rentang lengan panjang dari pantat ke tungkai, panjang dari pantat ke lutut dan rentang fungsional, terutama untuk pilot. Ukuran lingkar pundak juga penting karena personel militer serig menggednong ransel, mengalungkan senapan dan peluru, mengangkut, menjinjing, dan membawa barang lainnya. Pundak yang kuat penting untuk dapat bergerak dan berfungsi dengan baik ketika membawa beban sambil berjalan, berlari, ataupun merangkak.

Disarikan dari Indriati, E., 2009 Antropometri untuk Kedokteran, Keperawatan, Gizi, dan Olah Raga, Citra Aji Parama, Yogyakarta.

Produk ergonomis

Beberapa benda yang dirancang secara ergonomis.

Sumber gambar: www.ergosign.com

Sumber gambar: http://www.sudancampaign.com/ergonomic-products.php


Contoh sebuah rancangan ruang kerja yang ergonomis:

Sumber gambar: http://www.jtyler.com/houston-office-furniture/ergonomic-products-solutions/

Ergonomi: aplikasi antropometri di lingkungan kerja


Ergonomi (b. Yunani, ergo = kerja, nomos = hukum, aturan) adalah ilmu yang mempelajari manusia ketika mereka menggunakan berbagai peralatan dan perkakas tertentu di lingkungan kerja tertentu (Bery, 2008). Asosiasi Ergonomi Internasional (International Ergonomics Association) mendefinisikan ergonomi sebagai berikut:

Ergonomi adalah studi tentang aspek anatomis, fisiologis, dan psikologis manusia di lingkungan kerja. Ergonomi menyangkut optimalisasi efisiensi, kesehatan, keamanan, dan kenyamanan ketika orang sedang bekerja, berada di rumah, maupun bermain. Secara umum, ergonomi membutuhkan sistem yang di dalamnya terjadi interaksi antara manusia dengan mesin dan lingkungan, dan bertujuan menyesuaikan pekerjaan dengan manusia (Norton & Olds, 1996). 

Dalam beberapa literatur, sering dijumpai istilah human factor engineering dan istilah ini dipakai dalam pengertian ergonomi, namun beberapa ahli ada yang dengan tegas membedakan kedua hal tersebut: human factor engineering menekankan pada karakteristik psikologis (kognitif), sedangkan ergonomi lebih pada aspek fisiologis manusia (idem).

Ergonomi dibutuhkan untuk merancang tempat kerja (workplace), proses dan produk yang dapat digunakan oleh manusia agar mereka dapat bekerja dengan mudah, efisien, dan aman. Dengan demikian, manusia sebagai pengguna menjadi pusat seluruh aktivitas perancangan/desain peralatan kerja. Ruang kerja yang dirancang secara ergonomis memungkinkan orang yang paling tinggi dapat duduk dengan nyaman tanpa terganggu ruang geraknya, dan orang yang paling pendek dapat menjangkau peralatan kerjanya dengan nyaman dan aman. Berbagai jenis pekerjaan membutuhkan rancangan ruang kerja yang beragam pula. Rancangan ruang dan perlatan kerja untuk pekerja pabrik yang bertugas memberi label pada botol produk tentu berbeda dengan rancangan kerja untuk pekerja yang bertugas mengangkut barang dari satu titik ke titik lain (baik vertikal maupun horisontal). Ruang kokpit pesawat terbang lain pula, demikian seterusnya. Standarisasi ergonomi bukan mengacu pada ukuran rata-rata orang, melainkan mengambil yang tertinggi dan terendah, dan untuk itu diperlukan data antropometri.

Antropometri dalam ergonomi
Antropometri digunakan untuk mengetahui hubungan berbagai dimensi badan seperti panjang lengan dan tinggi badan.  Hubungan in dapat digunakan untuk merancang atau mengevaluasi produk. Penerapan antropometri secara sistematik dapat meminimalkan penyesuain-penyesuaian yang harus dilakukan manusia dengan situasi kerja yang tidak mengenakkan sehingga dengan demikian dapat mengurangi tekanan terhadap otot dan rangka (musculoskeletal stress) pada badan. Antropometri memungkinkan kita mengembangkan persyaratan standar dan spesifik yang dapat dijadikan dasar untuk mengevaluasi produk, mesin, perkakas serta peralatan dan  memastikan bahwa semua itu dapat mendukung populasi pemakainya (Roebuck, Kroemer & Thompson, 1975).

Antropometri dalam rancangan tempat kerja (workplace design)
Tempat kerja (workplace) adalah ruang tempat kita melakukan dan menyelesaikan pekerjaan tertentu. Pekerjaan-pekerjaan sederhana seperti menulis atau mengetik tetap membutuhkan kenyamanan bagi yang mengerjakannya. Rancangan meja tulis yang baik akan menyesuaikan dengan dimensi antropometris pemakainya sehingga ketika menulis si pemakai tidak perlu terlalu membungkuk (ini dapat mengarah pada kejang otot di sekitar leher dan bahu). Ruangan kerja yang kompleks sepert kokpit pesawat terbang tentu lebih rumit lagi rancangannya. Di kokpit pilot harus dapat menjangkau berbagai peralatan dan tombol dengan gerak badan terbatas. Itu sebabnya mengapa ada persyaratan tinggi badan minimal bagi seorang pilot.

Dengan demikian, untuk mendapatkan desain ruang kerja yang optimal maka kita harus memperhitungkan karakteristik antropometrik manusia dalam proses perancangannya. Selain itu faktor lingkungan seperti pencahayaan, tingkat kebisingan, getaran dan suhu juga tidak boleh diabaikan karena semua itu turut berpengaruh pada kenyamanan kerja.

Acuan:
1. Norton, Kevin & Olds, Tim (eds.), 1996 Anthropometrica, UNSW Press, Sydney.
2. Berry, C., 2008, A Guide to Ergonomics.

Senin, 21 Mei 2012

Antroposkopi


Antroposkopi adalah studi perbandingan tubuh manusia melalui pengamatan fisik (ciri-ciri nonmetrik). Bidang ini saling menunjang dengan antropometri. Biasanya, secara naluriah orang akan terlebih dahulu memperhatikan bentuk dan ukuran badan, kemudian ditindaklanjuti dengan melakukan pengukuran secara metrik. Antroposkopi berguna dalam menentukan hubungan kekerabatan antarkelompok manusia. Unsur-unsur yang diamati dalam antroposkopi adalah bentuk muka dan bagian-bagiannya (mata, hidung, bibir, alis, tulang pipi, dan sebagainya). Warna dan bentuk rambut juga menjadi bagian yang diamati, termasuk warna pupil mata. Anggota badan (lengan dan tungkai, tangan dan kaki) tidak luput dari pengamatan ini.

Para ahli kemudian mencari sistem yang dianggap tepat untuk mengelompokkan bentuk-bentuk fisik manusia. Sistem ini dikenal dengan nama somatotyping, yang untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Willian Sheldon (1940), seorang ahli psikologi konstitusional. Sheldon juga mengaitkan tipe badan dengan temperamen tertentu. Sheldon meyakini bahwa somatotipe ditentukan secara genetik tetapi pandangan ini sekarang telah berubah. Para ahli saat ini berpendapat bahwa somatotipe bersifat fenotipik dan dapat berubah disebabkan faktor pertumbuhan, usia tua, olah raga dan gizi (Carter & Heath, 1990). Parnell (1957) dan Heath & Carter (1967) memperbaiki sistem yang diperkenalkan oleh Sheldon. Metode somatotipe Heath-Carter sekarang ini paling banyak digunakan. Sheldon mengelompokkan somatotipe berdasarkan bentuk dan komposisi badan yang diekspresikan dengan endomorphy, mesomorphy, dan ectomorphy. Heath-Carter memberikan pemeringkatan atas somatotipe yang dikemukakan Sheldon. Tipe endomorfi cenderung gemuk (banyak lemak), mesomorfi lebih kekar dan berotot, dan ektomorfi cenderung kurus/langsing.

Somatotipe digunakan untuk:
  • Menggambarkan dan membandingkan atlit pada berbagai tingkat kompetisi
  • Menandai perubahan-perubahan bentuk badan selama pertumbuhan, usia tua, dan olah raga
  • Membandingkan bentuk relatif laki-laki dengan perempuan
  • Menjadi alat analisis untuk “body image”.

Berikut ini deskripsi masing-masing somatotipe:

Endomorph
  • Badan berbentuk buah pir
  • Kepala bulat
  • Pinggul dan bahu lebar
  • Dimensi depan-belakang lebih lebar dibandingkan dimensi kanan-kiri
  • Banyak lemak, terutama di paha dan lengan atas
Manfaat
  • Cocok untuk olahraga jenis rugby yang membutuhkan tubuh gempal karena orang dengan tipe badan ini gerakannya kuat.
  • Cenderung memiliki kapasitas paru yang besar sehingga cocok sebagai atlit olahraga mendayung.
  • Mudah meningkatkan massa otot.

Mesomorph
  • Bentuk badan membaji
  • Kepala berbentuk kubus kubik
  • Bahu lebar
  • Lengan dan tungkai berotot
  • Bibir tipis
  • Dimensi depan-belakang lebih sempit dibandingkan dimensi kanan-kiri
  • Sangat sedikit lemak
Manfaat
  • Mampu memberi respon baik pada olahraga yang membutuhkan ketahanan jantung dan kekuatan
  • Mampu mempertahankan tingkat lemak badan rendah
  • Seluruh kelompok otot dapat digunakan untuk melakukan olahraga positif
  • Tergantung jenis olahraganya, tipe ini mudah menurunkan ataupun menaikkan berat badan

Ectomorph
  • Dahi tinggi
  • Dagu tidak menonjol
  • Bahu dan pinggul sempit
  • Dada sempit dan perut tipis
  • Lengan dan tungkai kurus
  • Otot dan lemak sedikit
Manfaat
  • Rangka yang ringan membuat tipe ini cocok untuk aktivitas aerobik seperti senam
  • Area permukaan badan kecil membuat mereka sesuai untuk aktivitas yang membutuhkan ketahanan
  • Bentuk badan ini mampu mengatur panas badan, hal ini penting untuk aktivitas dasar yang membutuhkan ketahanan



Sumber gambar: lihat di sini


Bacaan lanjutan:
http://www.kheper.net/topics/typology/somatotypes.html
http://changingminds.org/explanations/personality/sheldon_personality.htm

Sabtu, 19 Mei 2012

Antropometri


Satu set peralatan antropometri

Antropometri adalah studi ilmiah terhadap bentuk dan ukuran badan manusia. Antropometri  banyak digunakan dalam studi tentang variasi manusia. Teknik antropometri adalah mengukur dimensi badan dan menentukan morfologi badan. Dimensi yang diukur misalnya panjang, lebar, dan lingkar. Kelebihan antropometri adalah biayanya murah dan penerapannya mudah, sedangkan kelemahannya adalah tingkat subjektivitasnya tinggi.

Sejarah singkat
Sudah sejak lama manusia tertarik pada ukuran-ukuran badan. Jika kita diam di suatu keramaian dan mengamati orang yang berlalu-lalang di situ akan terlihat variasi manusia berdasarkan morfologinya: gemuk, kurus, tinggi, pendek, berkaki panjang, berdada bidang, bermuka bulat,bermuka tirus, berdagu runcing, berhidung mancung/pesek. Meskipun sudah sejak zaman kuno ukuruan-ukuran badan menarik perhatian, baru pada abad ke-19 morfologi manusia menjadi studi kuantitatif formal. Sebelum ditemukannya mikroskop – yang membantu memahami variasi manusia di tingkat seluler – morfologi menjadi alat utama untuk mengklasifikasikan fenomena alam.

Catatan tertua tentang ukuran manusia berasal dari Sumeria, berangka tahun 3500 SM. Beberpa teks dari masa tersebut menyebutkan hubungan antara kesehatan, status sosial, dengan bentuk badan. Pengetahuan orang Sumeria sangat akurat karena ternyata ini bersesuaian dengan pandangan biologis modern saat ini tentang penyebab variasi bentuk dan ukuran badan manusia. Penelitian telah membuktkan bahwa orang yang dibesarkan di lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya dengan gizi dan tingkat kesehatan yang baik secara umum cenderung lebih tinggi dan lingkar lengan & tungkainya lebih besar daripada orang yang tumbuh di lingkungan sosial budaya yang lebih rendah.

Filsuf Yunani kuno Plato dan Aristoteles (± 350 SM) beranggapan bahwa manusia hidup (living people) dan kebudayaannya adalah cerminan tidak sempurnanya tipe ideal fisik manusia dan sistem sosial budaya. Mereka memandang variasi bentuk dan ukuran badan di berbagai kebudayaan adalah konsekuensi atas adanya derajat ketidaksempurnaan dalam berbagai masyarakat yang berbeda. Orang Athena beranggapan bahwa mereka memiliki sosok badan yang paling mendekati ideal, masyarakat di luar Athena dianggap kurang sempurna. Meskipun demikian, orang Yunani kuno tidak mempercayai konsep “ras” yang membagi umat manusia secara fundamental berdasarkan morfologinya; orang Yunani kuno menerima perbedaan dan mengakui kesatuan umat manusia.

Antropometri modern
Istilah “antropometri” pertama kali dikemukakan oleh Johann Sigismund Elsholtz (1623-1688). Elsholtz menciptakan antropometer, sebuah alat untuk mengukur tinggi dan panjang bagian-bagian badan seperti lengan dan tungkai. Elsholtz sangat tertarik dan ingin menguji pernyataan dokter Yunani kuno Hippokrates yang menyebutkan bahwa ukuran badan yang berbeda-beda ada hubungannya dengan berbagai penyakit yang berbeda pula. Pada tahun 1881 antropolog Prancis bernama Paul Topinard (1830-1911) menggunakan antropometri untuk studi mengenai “ras” manusia untuk melihat perbedaan antarmanusa dan menetapkan hubungan mereka satu sama lain (Topinard, 1881, h. 212).

Cabang antropometri yang digunakan dalam penelitian rasial adalah kraniologi (studi tentang tengkorak). Seorang dokter Belanda Petrus Camper (1722-1789) dan para pengikutnya mengukur berbagai sudut tulang muka untuk menentukan ras dan seks berdasarkan tengkorak. Johann Friedrich Blumenbach (1752-1840), antropolog berkebangsaan Jerman, mengidentifikasi lima “ras” berdasarkan pengamatan visual terhadap bentuk dan ukuran tengkorak. Salah satu “ras” tersebut diberi nama “ras Kaukasia” yang didapat berdasarkan pengamatannya atas tengkorak dari Pegunungan Kaukasus di wilayah Georgia (Rusia). Blumenbach meyakini bahwa orang-orang Georgia yang masih hidup adalah yang paling dekat dengan bentuk original tipe Kaukasia primordial, dan orang Kaukasia Eropa berada di urutan kedua.

Di Amerika Serikat, Samuel George Morton (1799-1851) memperbaiki metode dan peralatan kraniometri. Dia menciptakan alat untuk menghitung dua belas jenis pengukuran pada tengkorak. Menurutnya pengukuran lebih akurat dibandingkan metode visual yang dilakukan oleh Blumenbach. Berlawanan dengan Morton, antropolog Swedia Anders Adolf Retzius (1796-1860) mereduksi pengukuran-pengukuran Morton menjadi dua (panjang dan lebar), dan dia menerapkan hal ini pada kepala manusia hidup juga. Dengan demikian dia dapat menghitung sebuah rasio sederhana: panjang kepala dibagi dengan lebarnya – disebut indeks kepala (cephalic index). Salah satu aliran ahli  kraniometri berpendapat bahwa ras yang “inferior” ditandai dengan kepala bulat, atau rasionya lebih besar daripada 0,80. Orang Eropa utara, yang dianggap ras “superior” memiliki kepala relatif panjang dan sempit dengan rasio kurang daripada 0,75. Ahli kraniometri lain, seperti Paul  Broca (1824-1880) tidak sependapat dengan pernyataan yang dianggapnya fantasi tersebut. Broca menunjukkan bahwa semua kelompok manusia, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, memiliki semua tipe indeks tengkorak. Untuk menggantikan indeks kepala (sebagai satu-satunya indikator – penerj.), Broca menyebutkan bahwa ukuran dan bentuk otak bervariasi di setiap “ras”, jenis kelamin (seks) dan antara individu yang berkecerdasan tinggi dan rendah. Seiring dengan berjalannya waktu, pernyataan ini terbukti salah tetapi keyakinan bahwa bentuk kepala dan ukuran otak merupakan penentu “ras”  dan kecerdasan masih berlaku hingga abad kedua puluh.

Pada awal abad ke-21 para ahli menyadari bahwa jumlah ras sosial sangat tidak terbatas, dan variasi genetis dan antropometris lebih banyak didapati pada individu-individu dalam satu “ras” dibandingkan dengan individu-individu dari “ras” yang berbeda. Dengan demikian, pemahaman biokultural mengenai perkembangan manusia menggantikan antropometri yang sudah ketinggalan zaman. Antropometri baru sekarang digunakan untuk mengukur sejarah sosial, ekonomi, dan politik suatu masyarakat; tingkat kesehatan individu, dan kesejahteraan populasi manusia.


Bacaan lanjutan: