Beranda

Jumat, 04 Mei 2012

Taphonomy


Tafonomi adalah cabang ilmu yang penting untuk diketahui jika kita mempelajari  sisa-sisa mahluk hidup baik fosil maupun non-fosil.  Taphonomy (b. Yunani, taphos = kubur dan nomy = klasifikasi) adalah bagian/cabang dari paleontologi, paleantropologi, dan bioarkeologi yang mengaji sisa-sisa manusia dan binatang dalam kaitannya dengan transformasi postmortem (pascamerta, setelah mati) yang terjadi di situs-situs kubur. Dalam arti luas, tafonomi mempelajari proses-proses yang mengarah pada fosilisasi, berikut tahap-tahap perubahan yang terjadi pada rangka yang disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan (action of environmental factors). Pengetahuan yang dikumpulkan dari studi tafonomi sangat berguna bagi ilmu forensik sebagai alat analisis terhadap sisa-sisa manusia di TKP, kuburan massal, ataupun di area-area bencana massal.

Osteologi, geokimia, dan entomologi (ilmu tentang serangga) adalah aspek-aspek penting dalam tafonomi karena rangka dan pecahan rangka dapat memberi informasi tentng kondisi individu ketika hdup, makanan yang dikonsumsi, ada tidaknya infeksi, keausan dan kerusakan sendi tertentu karena aktivitas berulang, ukuran otot, dan peristiwa-peristiwa pascamerta. Dengan demikian, apa yang akan terjadi pada organisma hidup versus karakteristik lingkunga bisa disimpulkan dari analisis tersebut. Dengan analisis tersebut juga dapat diketahui beban/kekuatan dan unsur-unsur kimia apa yang telah berperan terhadap sisa-sisa individu setelah dia mengalami kematian. Ketika organisma mati dan dikubur atau terkubur oleh lapisan tanah sedimen seperti lempung, pasir, abu vulkanik, atau es maka proses tafonomik transformasi pascamerta pun dimulai; proses ini bisa membuat mayat  menjadi mumi (mumifikasi), membusuk (dekomposisi), ataupun menjadi rangka (skeletonization). Jika kondisinya tepat maka rangka akan menjadi fosil. Tulang bisa mengalami transformasi karena aktivitas hewan pemakan bangkai, atau hanyut oleh sungai dan tercerai-berai di bantaran sungai jauh dari tempatnya semula sebelum tulang tersebut menjadi fosil.

Ada tiga tahap transformasi pascamerta yang dipelajari dalam tafonomi, yaitu nekrologi (necrology), biostratinomi (biostratinomy), dan diagenesis. Nekrologi merujuk pada faktor-faktor yang ada pada saat kematian atau yang langsung berkaitan dengan sebab kematian. Kajian nekrologi mencakup pemeriksaan tulang dan tubuh apakah ada fraktur/retak pada tengkorak, bekas taring atau cakar pada tulang, tanda-tanda malnutrisi, bengkak, infeksi, lebam karena benda tumpul, peluru, atau terbakar adalah beberapa petunjuk untuk mengetahui penyebab dan peristiwa-peristiwa di sekitar kematian. Biostratinomi mengidentifikasi perubahan-perubahan yang disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan yang ada di situs kubur (lubang kubur, pekuburan, dan kuburan massal), atau di tempat mayat/rangka ditemukan/ditinggalkan, seperti dasar sungai atau dasar danau, tanah sedimen, atau hutan. Beberapa peristiwa dalam tahap ini dapat meninggalkan bekas pada rangka, seperti bekas dimangsa pemakan bangkai, aktivitas enzim dan bakteri, aktivitas serangga, dan hanyut terbawa air atau tanah longsor. Tahap terakhir, beberapa pecahan tulang atau seluruh rangka terkubur dalam kondisi yang menunjang diagenesis, yaitu proses litifikasi (kompaksi) sedimen yang menutupi rangka, yang akhirnya dapat mengakibatkan tulang menjadi fosil. Fosilisasi bisa terjadi di lingkungan daratan (terestrial) maupun perairan (maritim), dan memberi petunjuk kepada peneliti mengenai perubahan-perubahan lingkungan, geologikal, topografikal dan iklim yang terjadi di Bumi sepanjang proses fosilisasi tersebut. Kajian tentang lapisan-lapisan bawah laut terhadap binatang laut atau yang bercangkang memungkinkan didapatnya deskripsi tentang perubahan iklim radikal yang terjadi pada zaman geologi yang berbeda-beda.

Tafonomi forensik memusatkan kajian pada transformasi biologikal dan biokimiawi perimortem (pada saat terjadinya kematian) dan intermediate postmortem (hitungan hari hingga minggu setelah kematian) untuk menentukan penyebab kematian, memperkirakan waktu kematian, dan untuk mengidentifikasi rangka manusia seperti seks, umur, ras, dan – jika memungkinkan – identitas individu. Pemahaman mengenai bagaimana lingkungan yang berbeda berperan dan berpengaruh pada perubahan biologikal dan biokimiawi pada rangka manusia (berpengaruh pada proses pembusukan) sangat krusial untuk interpretasi forensik pada kuburan massal, bencana massal, korban perang, dan korban pembunuhan.

Sumber: World of Forensic Science, 2006.

Bacaan tambahan: 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar