Beranda

Rabu, 25 Juli 2012

Antropologi Forensik (3)


Sekedar bacaan tambahan untuk wawasan.

American Board of Forensic Anthropology mendefinisikan antropologi forensik sbb:
Antropologi forensik adalah penerapan ilmu antropologi fisik dalam proses hukum. Identifikasi rangka, yang sudah sangat mengalami pembusukan, ataupun sisa manusia yang tidak teridentifikasi sangat penting baik secara hukum maupun kemanusiaan. Ahli antropologi forensik menerapkan standar teknik-teknik ilmiah yang dikembangkan dalam antropologi fisik untuk mengidentifikasi sisa-sisa manusia, serta untuk membantu menyelidiki kejahatan. Para ahli antropologi forensik sering bekerja sama dengan ahli patologi forensik, ahli odontologi, dan penyelidik pembunuhan untuk mengidentifikasi mayat, menemukan bukti kejahatan, dan/atau jarak postmortem. Selain membantu melacak dan menemukan sisa-sisa yang mencurigakan, ahli antropologi forensik berusaha memperkirakan umur, jenis kelamin, asal-usul keturunan, sosok, dan ciri-ciri khusus mayat berdasarkan rangkanya.

Akar antropologi forensik tertanam kuat pada riset akademik antropologi fisik (antropologi biologi) abad keduapuluh, khususnya bioarkeologi. Usaha mendapatkan informasi maksimum dari sisa rangka masyarakat masa lalu mendorong keluarnya osteologi dari batas-batas kajian yang biasanya dinisbahkan kepada para dokter dan ahli anatomi. Pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang menjadi titik perhatian para ahli antropologi fisik untuk mendapatkan informasi biologis dan kultural dari rangka dalam konteks arkeologis terbukti dapat diterapkan langsung pada konteks mediko-legal. Tentu saja ini bukan berarti riset untuk arus aplikasi ini merupakan arus searah. Pertumbuhan riset dan praktik di ranah forensik telah menciptakan arus balik informasi pada kerja keras di bidang bioarkeologi dan paleontologi. 

Menyingkap informasi dari tulang untuk mengidentifikasi individu menjadi puncak sebagian besar kerja awal yang dilakukan oleh ahli antropologi, yang kebanyakan dimintai tolong secara sporadik dan ad hoc. Lama-lama para ahli antropologi diminta untuk membantu menginterpretasikan bukti rangka yang dipusatkan pada bagaimana kematian terjadi dan apa penyebabnya. “Singkatnya, penyebab kematian adalah luka atau penyakit yang mengakibatkan kerusakan pada badan sehingga seorang individu mengalami kematian.” (DiMaio & DiMaio, 1993, h. 3). Dengan demikian, penyebab kematian bisa sangat beragam, mulai lukai tembak, melanoma, ataupun keracunan. Jika penentuan sebab-sebab kematian terutama menjadi tanggung jawab ahli patologi, pemeriksa kematian, dan petugas koroner, maka  sisa berupa rangka menjadi tanggung jawab ahli antropologi forensik. Namun karena sisa rangka yang diperiksa oleh ahli antropologi tidak lagi memiliki jaringan lunak, maka mereka harus sangat berhati-hati dalam membuat kesimpulan. Misalnya, ada keterkaitan mutlak antara retak memanjang pada tengkorak (linear skull fractures) dengan derajat kerusakan otak, dan sebab kematian bisa berhubungan langsung ataupun tidak dengan retaknya tengkorak. The manner of death (cara/bagaimana individu mati) adalah keadaan yang mengakibatkan terjadinya kematian. Jika penyebab kematian memiliki banyak kemungkinan, maka the manner of death (cara mati) hanya memiliki lima kategori: sebab-sebab alamiah, kecelakaan, bunuh diri, dibunuh, dan tidak dapat dipastikan. Misalnya luka tembak di kepala sebagai penyebab kematian bisa saja terjadi karena kecelakaan, pembunuhan, bunuh diri, atau hal-hal lain yang tidak dapat dipastikan. Keadaan kematian (circumstances of death) adalah bagian dari investigasi medikal-legal yang sering dapat dipertanggungjawabkan dalam penyelidikan antropologis, dari menetapkan the manner of death hingga mengevaluasi bisa dipercaya tidaknya pernyataan orang yang dicurigai dalam peristiwa tersebut. 

Mekanisme kematian (mechanism of death) adalah proses fisiologis dan kimiawi, diawali dengan penyebab kematian, yang mengarah pada kegagalan organ-organ vital atau sistem organ. Proses ini menggambarkan bagaimana peluru yang menembus kepala atau dada dapat mengakibatkan kematian. Kajian ini bukan wilayah kajian utama ahli antropologi dan biasanya diserahkan kepada pihak medis.

Yang menjadi perhatian ahli antropologi adalah mempertahankan mata rantai bukti atau mata rantai pengamanan (custody). Ahli antropologi harus menjamin keamanan setiap sisa rangka atau bukti lain yang ada dalam penjagaannya. Ahli antropologi harus menjamin bahwa bukti tersebut tidak bercampur aduk (bukti-bukti tersebut harus didokumentasikan – penerj.). Kadang-kadang setiap petugas pengamanan menandatangai dan memberi tanggal secara berseri pada rangkaian bukti yang diperoleh. Ahli antropologi harus mencatat tanggal, waktu, dan kejadian-kejadian berkaitan dengan masuk dan keluarnya bukti-bukti yang ada serta di mana penyimpanan sementara bukti-bukti tersebut.

Bencana massal dan penggalian kuburan massal memberikan tantangan dan hambatan tersendiri yang berbeda dengan penyelidikan kematian yang lebih tipikal dalam hal struktur lembaga dan komando, peraturan-peraturan aneh, dan urusan dengan birokrasi. Setiap instansi memiliki kekhususan tersendiri.

Akhirnya, antropologi forensik sangat mirip dengan praktik klinis, terutama dalam hal pengambilan keputusan, seperti dikemukakan oleh Dawes dkk (1989) dalam Clinical versus Actuarial Judgement.

Diterjemahkan dan disarikan oleh Julimar dari Klepinger, Linda L., 2006 Fundamentalsto Forensic Anthropology, A John Wiley & Sons., Inc., New Jersey, h. 3-5.